Minggu, 03 Agustus 2014

Pura Natar Sari dan Situs Gumuk Payung



“Orang Jawa meyakini bahwa Bali artinya Balik atau Kembali. Maksudnya adalah ketika jaman Kali Sanghara menimpa tanah Jawa, maka ajaran leluhur untuk sementara dititipkan di tanah sebelah timur pulau Jawa. Pada waktunya nanti, dari sana ajaran leluhur akan kembali dibawa ke tanah Jawa untuk diajarkan kembali kepada para anak cucu, kumpi, buyut pewaris tanah Jawa. Itulah sebabnya tanah itu disebut dengan Bali”. Ini adalah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh seorang tokoh Hindu di Jawa, untuk mengawali cerita ini.
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, belakangan ini menjadi kawasan wisata spiritual alternatif setelah Bali. Setiap tahun, Banyuwangi mendapat limpahan wisatawan yang bertirtayatra dari Bali. Boleh dikata hampir setiap hari “rombongan putih” baik dalam sekala besar maupun kecil menyeberangi Selat Bali untuk bersembahyang ke tanah Jawa khususnya Banyuwangi.
Di tanah Banyuwangi, sampai saat ini sudah ratusan pura yang telah dibangun, seiring dengan dengan bangkitnya umat Hindu di tanah Blambangan yang telah tidur panjang selama lima ratus tahun, semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit. Kini umat Hindu di tanah Jawa tampil ke permukaan dengan identitas kehinduannya.
Salah satu pura yang ada di Banyuwangi yakni Pura Natar Sari. Terletak di Dusun Kali Wadung, Desa Kali Gondo, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini dapat dicapai sekitar satu jam perjalanan dari Pura Agung Blambangan ke arah barat laut menuju lereng Gunung Raung. Pura ini dibangun sekitar tahun 1967 oleh sekelompok masyarakat setempat yang masih kuat memegang keyakinan leluhur. Walaupun pada saat itu mereka mengalami intimidasi yang kuat oleh golongan tertentu. Namun di tengah tekanan dan intimidasi, mereka masih memiliki keyakinan akan keagungan agama leluhur.
Menurut penuturan dari Mas Didik, salah satu umat Hindu di Kali Wadung menceritakan bahwa dahulu Dusun Kaliwadung masyarakatnya sembilan puluh persen adalah pemeluk Hindu Jawa. Pada awal tahun 1960-an, karena situasi sosial politik, serta tekanan dan intimidasi dari kelompok lain, maka banyak yang beralih dari Hindu Jawa ikut keyakinan lain. Setelah peristiwa kelam tahun 1965, sekitar tahun 1967, para penganut Hindu Jawa yang masih tersisa secara tak sengaja bertemu dengan seseorang dari Bali yang bernama Bapak I Ketut Sidra. Dari beliau ini mengarahkan untuk tetap menjaga warisan dan keyakinan leluhur. Sehingga mereka kemudian dengan kekuatan tersisia mereka membangun Pura di Dusun tersebut yang diberi nama Pura Natar Sari. Pemberian nama Pura Natar Sari ini diberikan oleh seorang sulinggih dari Tabanan Bali kala itu.
Pura Natar Sari, sesuai namanya adalah dimaksudkan sebagai pusat pemujaan atau pusat kegiatan rohani bagi masyarakat di sana untuk memohon intisari kehidupan dalam mencapai kesejahteraan di dunia (jagadhita) serta memohon intisari spiritual berupa pencerahan untuk mencapai kebebasan abadi yang disebut dengan (moksa). Sehingga dengan demikian Pura Natar Sari berfungsi sebagai pusat kegiatan spiritual untuk mencapai kesejahteraan lahir batin sesuai dengan tujuan dari agama Hindu yaknimoksartam jagahita ya ca iti dharma.
Pura Natar Sari di Kali Wadung dibangun di tengah pemukiman Hindu, dengan areal yang cukup luas. Pura Natar Sari terbagi dalam tiga bagian (tri mandala) yakni mandala utama (jeroan), madya mandala (jaba tengah) dan nista mandala (jaba sisi). Pada bagian mandala utama terdapat pelinggih utma yakni Padmasana yang menjulang tinggi. Pada bagian kiri dan kanan padmasana terdapat pelinggih pengapit (semacam tajuk pepelik). Terdapat pula tugu penglurah. Selain bangunan pelinggih, di mandala utama juga dilengklapi bale pawedan, bale pesandekan.
Antara mandala utama dan madya mandala dibatasi oleh pemedalan agung berupa candi kurung yang tinggi dilengkapi yang di kanan kirinya terdapat pelinggih apit lawang. Di Jaba tengah terdapat bale yang menjadi tempat kegiatan menabuh, menari, mekidung, pasraman, dll. Pada bagian ini dilengkapi pula dengan perpustakaan dan pewaregan (dapur). Sedangkan pada bagian nista mandala, berbatasan langsung dengan jalan desa, dibatasi dengan adanya penyengker dan candi bentar. Pada bagian ini dilengkapi dengan kamar kecil.
Dengan adanya fasilitas ini, cukup representatif bagi para pemedek bila hendak mekemit di Pura Natar Sari. Yang sudah pasti, ketika umat bersembahyang di Pura Natar Sari, maka akan disambut hangat oleh pengurus pura dan umat Hindu di sana yang jumlahnya saat ini sekitar 58 kepala keluarga. Umat di Kali Wadung akan menjamu ramah para pemedek, lengkap dengan identitas dan busana Hindu Jawa.
Odalan di Pura Natar Sari diselenggarakan pada Purnama Sasih Kapat. Dalam menjalankan odalan dan ritual keagamaan Hindu di Pura Natar Sari, dipimpin oleh Pemangku yakni Romo Mangku Jamal yang bertindak sebagai Jero Mangku Gede. Jero Mangku Jamal sudah ngayah menjadi mangku di Pura Natar Sari sejak tahun 1972. Karena sudah lingsir, kini beliau dibantu oleh generasi penerus yakni Jero Mangku Alit. Sedangkan urusan upakara, masyarakat di Kaligondo sudah mahir dalam membuat banten ala Bali. Mereka sudah bisa menyiapkan banten untuk sehari-hari, untuk banten odalan, untuk rerahinan Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, dan bahkan sudah seringkali melaksanakan upacara Ngenteg Linggih.
Untuk menguatkan srada (keyakinan) umat, maka masyarakat menggelar pesraman-pesraman bagi generasi muda Hindu di sana. Bahan pengajaran agama Hindu di Dusun Kali Wadung mengacu pada kitab UPADESA yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia. Dan untuk lebih menguatkan lagi pendidikan umat Hindu di Dusun Kali Wadung, masyarakat Hindu mendirikan sebuah sekolah Taman Kanak - kanak yang diberi nama TK Saraswati.
Diceritakan pula oleh Mas Didik, bahwa Desa Kali Gondo, kira-kira lima kilometer dari Pura Natar Sari terdapat sebuah situs pemujaan kuno yang diyakini sebagai tempat pemujaan jaman Maha Resi Markandeya yang berbentuk lingga yoni. Situs ini ditemukan beberapa waktu yang lalu oleh masyarakat di sana. Namun situs ini sudah menjadi bagian dari pengawasan Dinas Purbakala. Situs pemujaan ini terletak di lereng Gunung Raung, di tengah hutan dan hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor. Situs ini dikenal dengan Situs Gumuk Payung.
Umat Hindu Kali Wadung sangat mendambakan kunjungan dari umat sedarma darimanapun berada. Selain untuk bersembahyang, juga untuk mengenal keberadaan umat Hindu di tanah Jawa sekaligus untuk menjalin persaudaraan. Peradaban lereng Gunung Raung yang kini telah bangkit seperti Petilasan Maharesi Markandeya di Gumuk Kancil, Pura Sugih Waras Bumi Harjo, Pura Sandya Dharma, Pura Beji Anantaboga, Pura Banyubening, Situs Rowo Bayu dengan petilasan Prabu Tawangalun dan Pura Candi Puncak Agung Macan Putih, Situs Gumuk Payung, dll. 
(Sumber: http://kanduksupatra.blogspot.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar