Selasa, 25 Maret 2014

NYEPI "MENCIPTAKAN BHUTA HITA MENUJU ALAM SUNYA"



Ri hěněng ikanang amběk tibrālit mahěning ahö/
Lěngit atisaya sunya jñana naśraya ya wěkasan/
Swayéng umiběki tan ring rat mwang déha tuduhana/
Ri pangawakira sanghyang tattwadhyatmika katěmu// (Nirartaprakerta)

(Ketika hati telah heneng, hening, halus dan cemerlang/ kemudian menyusup ke alam sunya, alam yang sempurna/ fikiran lalu bagaikan telah meliputi seluruh alam namun tidak diketahui dari mana datangnya/ orang yang telah mencapai tingkat itu adalah orang yang telah menemui hakikat kerohanian yang tertinggi).
Hari raya nyepi datang setahun sekali, yaitu pada Pananggal 1 Sasih Waiśaka sehari setelah Tilem Caitra. Hari ini dijadikan sebagai “Tahun Baru Śaka” ditandai dengan pelaksanaan “Brata Penyepian”. Dengan demikian hari raya Nyepi tidak sekedar pergantian Tahun Śaka, tetapi benar-benar dilandasi oleh nilai-spiritual. Wawasan kesemestaan dengan melihat posisi Surya dan Candra, renungan tentang ruang dan waktu sebagaimana tertuang dalam pelaksanaan bhuta yajña (persembahan kepada Bhuta dan Kala, pelaksanaan ajaran yoga dengan melaksanakan yama dan niyama brata membangun visi dan spirit untuk menghadapi masa datang. Terlebih lagi sepi atau sunya adalah sebuah kata kunci dalam ajaran agama Hindu yang mengandung makna kesempurnaan (purna).
Oleh karena itu Nyepi senantiasa menyajikan bahan renungan kepada kita, lebih lanjut mendorong kita untuk lebih mendalami ajaran agama Hindu.

Nyepi Mencapai Alam Sunya-Nirbana
Istilah sunya dan nirbana adalah istilah kunci untuk memahami Śiwa-Buddha Tattwa. Masyarakat mengetahui bahwa masing masing istilah tersebut adalah khas milik agama masing-masing, yaitu Sunya untuk Śiwa dan Nirbana (nirwana) untuk Budha.
Lontar Bhuana Sangksepa ada menyuratkan tentang Paramatattwa (kebenaran yang tertinggi) dalam agama Śiwa, yang disebut juga sebagai Sunyata atau Moksa, artinya tingkat dimana telah terjadi pembebasan dari segala ikatan, meniadakan semua bentuk paham: (na bhumir na jalam vyapih na tejo na ca marutah; na surya candra sarvepi nākasam nāntaram bhavet; na buddhih nāhamkarah na visnuh na brahma na iswaram; na niste na madyôttamah na miwa dewata punah). Sangat menarik perhatian kita pada tingkat ini Tri Murti tidak ada lagi. Hal ini dapat dipahami karena Tri Murti adalah aspek dari Parama Siwa dan semuanya telah kembali pada Parama-tattwa. Pada tingkat Parama Tattwa inilah terjadi kemanunggalan antara Śiwa dan Budha atau Śiwa Budha adalah “kebenaran yang Tunggal” .
Dalam hal ini kita memahami mengapa lontar Bhuwana Kosa menerangkan suatu keadaan Sunya-Nirbana yang dianggap sebagai moksa, disebut sebagai Śiwa. Jadi Sunya-Nirbana adalah suatu keadaan “persatuan” dengan Śiwa: .... hana ta pada sunya ya sinangguh sunya ya sinangguh kamoksan, nga, wisesa ya, ya Śiwa ngaranya; sunyaśca nirbhanadhikasciwanggatwe,...
Dalam uraian di atas telah jelas bagi kita, bahwa Sunya dan Nirwana adalah sama. Dalam kitab-kitab Budhis, nirwana mempunyai makna suatu keadaan “Santa”, sementara itu Bhuwana Kosa sebuah lontar yang bercorak Śiwa menyebutkan bahwa keadaan yang tertinggi juga disebut “Param brahma Mahasuksma Santa Parinirmala”.
Dalam hal ini menarik untuk dicatat Pernyataan Mpu Tantular dalam karyanya Kakawin Sutasoma yang bercorak Buddha. Beliau menulis: “Sunyakara diwangga nirmala siran nirbana nirlaksana”. Disini kata sunya dan nirbana dideretkan dalam menjelaskan makna ajaran tersebut. Sebelumnya Empu Tantular ada menulis: nirbana ya rinĕgĕp iran mantukéng Budha loka (nirbana itulah yang dipikirkan untuk kembali ke alam Budha).
Pemakaian istilah Sunya maupun Nirbana oleh seorang wiku seperti itu tentulah bukan kekacauan istilah, namun sang wiku benar-benar memahami makna istilah tersebut. Hal ini tampak juga dalam tradisi sastra kidung, sebagaimana disuratkan oleh Ida Pedanda Nyoman Pidada penggubah Kidung Tantri Nandaka Harana. Dalam karya sastra yang ditulis pada awal abad ke 18 ini ada disuratkan: parok ning parama pinuh ring nirbana sunya kang ginung. Sementara itu dalam Kidung Tantri Manduka Prakarana ada disuratkan: paramārta nirbana sunya niscala śiwajati.
Demikianlah pada tingkat tertentu istilah sunya maupun nirbana tidak lagi menjadi ciri khas agama Śiwa maupun Budha. Kedua istilah penuh makna itu dipakai bergantian, atau dipakai bersamaan oleh para Wiku. Sangat menarik pula apa yang tersurat dalam Bhagawad Gita V.24-25. Dalam kitab ini tersurat adanya istilah Brahma-Nirwana.

Yo'ntah sukho 'ntar-ārāmas, tathāntar jyotir eva yah,
sa yogï brahma-nirvānam, brahma bhûto 'dhigacchati”.
(dia yang menemui kebahagiaan pada dirinya, dan tentram pada dirinya, cahaya ada pada dirinya, hanya yogi semacam ini yang menjadi suci, mencapai nirwana bersatu dengan Brahman).
Labhante brahma-nirvānam, ŗşayah kşiņa kalmaşāh
chinna dvaidhā yatātmānah, sarva bhüta hite ratāh”
(Orang suci yang dosanya telah dimusnahkan, keragu-raguannya dihapus, pikirannya dipusatkan, kebahagiaannya berbuat kebajikan bagi mahluk semua dia akan mencapai nirwana bersatu dengan Brahman).
Brahma nirwana sebagaimana disuratkan di atas adalah sesuatu yang dicita-citakan oleh para resi atau yogi, sesuatu yang dapat dicapai oleh para yogi setelah melakukan proses penyucian diri, proses yoga.
Dalam Kakawin Dharma Sunya disuratkan bagaimana seorang Wiku yang telah mencapai tingkat itu:
ambĕk sang wiku siddha tan pahingan tumutuga ri kamurtining taya/
tan linggar humĕnĕng licin mamĕpĕking bhuwana sahananing jagatraya/
norānglor kiduling kidul tělasana sira juga paměkas niraśraya/
kěwat kéwala sunya nirbhana lěngöng luput inangěn-angěn winarnaya//

(Bathin seorang wiku yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tidak terbatas, telah sampai pada wujud ketiadaan/ tidak goyah, diam, halus, memenuhi segala isi ketiga dunia/tidak utara, selatannya selatan telah habis, beliau adalah hakekat kebebasan/ hanya yang satu, yaitu sunya nirbana yang indah yang bebas dari pikiran, yang tak terkatakan).
Sunya nirbana adalah hakikat tujuan yang ingin dicapai oleh penganut Śiwa maupun Budha. Karena Sunya Nirbana adalah satu, disinilah makna sesungguhnya dari ucapan Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal.
Nyepi Pemujaan Bhutapati Menciptakan Bhuta-hita
Sudah kita catatkan di atas bahwa upacara yang sangat penting diadakan dalam rangka menyambut hari raya nyepi adalah Bhuta Yajña. Upacara ini dilaksanakan pada Tilem Caitra, ketika bumi bulan dan matahari dalam satu garis lurus atau surya dalam posisi tegak ditengah-tengah (wiswayana).
Bhuta yajña adalah persembahan kepada Bhuta. Ada lima unsur bhuta sebagai perwujudan dari Acetana mendapat perhatian penting dalam pemikiran Hindu. Alam semesta (bhuwana agung) dan juga diri manusia sendiri (bhuwana alit) dibentuk dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, terdiri atas Prthiwi (unsur padat), apah (unsur air), teja (unsur api), bayu (unsur angin), dan akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur-unsur sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas gandha (unsur bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni. Namun dalam perjalanan waktu, termasuk karena tindakan dan perbuatan manusia, unsur-unsur tersebut boleh jadi disharmoni. Oleh karena itu dalam setiap kurun waktu tertentu diadakan upacara mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam semesta, diadakan upacara Bhuta Yajña. Harapan yang ingin dicapai adalah Bhuta Hita atau Jagad Hita, Sarwaprani Hita, keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.
Bhuta yajña diadakan pada tempat dan waktu terpilih (pangala desa, subha diwasa). Penyelenggaraannya dilakukan di sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana (tengahnya dunia), di sebuah natar (lebuh, pempatan) dimana prthiwi (bumi, tanah) akasa (langit) bertemu.
Manusia yang hidup diantara Bhuta dan Dewa, dengan melaksanakan Bhuta Yajña diharapkan menyadari dirinya yang pada hakekatnya cahaya Tuhan yang berasal dan akan kembali kepada Sang Maha Cahaya. Bukan sebaliknya jatuh dalam kegelapan (bhuta). Tetapi Bhuta perlu dijaga keharmonisannya (somhya) dengan berbagai upaya sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama.
Bhuta Yajña juga diselenggarakan karena manusia menjadikan bhuta juga tan matra sebagai objek indrianya. Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta-hita, dengan demikian kerahayuan hidup akan dapat dicapai.
Setelah Bhuta menjadi somya, maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati, Hyang Jagatpati disthanakan lalu dipuja. Dengan demikian pelaksanaan Bhuta Yajña pada hakikatnya adalah juga untuk memuja Hyang Siwa, yang didahului dengan proses penyucian bhuwana.
Uraian ringkas di atas diharapkan telah dapat memberikan gambaran bahwa sesungguhnya perayaan hari raya nyepi dengan segala prosesnya pada hakikatnya adalah pemujaan kepada Hyang Siwa. Bhuta yajña yang dilaksanakan pada Tilem Caitra, ketika bhumi, bulan dan matahari dalam posisi wiswayana adalah upacara untuk mencapai bhuta-hita, selanjutnya memuja Hyang Siwa (Wiswa), beliau disebut juga Bhutapati. Pada hari raya nyepi umat Hindu diharapkan dapat memasuki alam sunya-nirbana, alam yang tertinggi, alam yang heneng dan hening. Keesokan harinya adalah Ngembak Gni, yang secara spiritual menghidupkan kembali api suci dalam diri untuk terus menerus membakar kekotoran pikiran (mala), yang pada akhirnya diharapkan tercapainya kesucian pikiran (nirmala), karena pada pikiran yang suci itulah diyakini Hyang Siwa bersthana.
Om Namah Siwaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar